Pages

Mawar Putih pun Berduri Tajam

Friday, November 14, 2014

Udara dingin mengusap lembut tubuhku yang tengah terbaring di sofa ruang keluarga. Aku sedikit terusik kemudian meringkuk memeluk lututku, berusaha menghangatkan diri. Namun, suara gemericik hujan bersautan dengan suara petir sedikit banyak mengganggu hibernasiku. Memuaskan diri dengan tidur seharian setelah satu minggu begadang demi tugas-tugas yang rasanya tidak pernah berkurang, atau malah terasa semakin bertambah.
Aku mengulet, melihat jam dinding. Jam 3 sore. 12 jam aku tertidur, pantas saja aku merasa sangat lapar hingga perutku terasa perih. Aku bangun, duduk menghadap kearah jendela. Aku menguap sambil melihat tetesan air yang turun dari si hitam cumulonimbus di atas langit sana. Melihat ke sekeliling halaman depan rumah. Berjejer bunga mawar tersiram air hujan. Aku pandangi satu per satu mawar itu, walaupun sebelumnya aku tidak pernah memperhatikan halaman depan rumah yang dirawat sangat apik oleh ibuku.
Tiba-tiba ada satu pemandangan yang tertangkap kedua mataku, dan langsung masuk kedalam otakku, lalu seketika terjun bebas kedalam hatiku. Mawar putih. Satu-satunya diantara deretan mawar merah dan pink, tertanam begitu indah dengan kelopak putih jernihnya. Aku bukan pujangga yang bisa menuliskan kata-kata romantis, tapi mungkin itulah Anna. Ditengah deretan mantan-mantanku, dialah yang paling berbeda. Hatiku mulai bereaksi, memori otakku kembali membuka album usang tempat aku menyimpan segala kenanganku dengannya.
Senyumnya, tawanya, tingkah lucunya, marahnya, delik matanya aku masih sangat megingatnya. Bahkan wangi khas tubuhnya pun masih lekat dalam ingatanku. Aku ingat bagaimana ia begitu marah ketika aku selingkuh. Saat itu aku baru menyadari betapa bodohnya diriku. Mungkin tangisannya adalah klimaks sakit hatinya. Ia tidak banyak bicara, diam membungkam lalu pergi. Ingin aku kembali pada saat-saat itu, mencoba meredam tangisnya dan mencegahnya pergi. Namun, rasanya tidak pantas lagi aku menghampirinya. Walau kini ia sudah memaafkanku, aku tahu di dalam hatinya luka itu masih menganga.
Aku rindu.
Jika aku seperti Nobita yang memiliki Doraemon, mungkin saja aku bisa memintanya mengeluarkan mesin waktunya. Kembali ke 2 tahun lalu. Aku ingin memperbaikinya, atau malah 3 tahun lalu memulai semuanya dari awal seperti serial Proposal Daisakusen. Jika aku diberi kesempatan itu aku akan menyayangi Anna sepenuh hati dan tidak akan membuat air matanya menetes setitikpun. Bahkan aku rela menjadi badut yang senantiasa mengukirkan senyum di wajah putihnya. Memulai dengan indah, terus berputar seperti bumi yang tak berujung.
Salahkah?
Terlambat. Hanya itu alasnnya. Aku terlambat untuk memperbaiki semuanya,
Tiba-tiba dadaku terasa nyeri, sesak, pelupuk mataku terasa panas. Mataku berkaca-kaca. Terlalu sakit untuk mengingat peristiwa ini. Kanker pun rasanya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan harus kehilangan orang yang paing disayangi. Dan kepergiannya adalah karena ulahku.
Sore itu ketika kami bertengkar hebat, diluar sedang hujan deras. Petir menyambar-nyambar mengiringi pertengkaran kami. Wajahnya memerah, sorot matanya begitu tajam diiringi derai air mata yang terus keluar dari mata cokelatnya. Aku menunduk, sesekali aku mencoba berargumen, namun aku memang salah. Aku mengaku salah. Aku memang bodoh. 1 tahun kebersamaanku dengannya sering kali diwarnai permainanku. Perselingkuhan yang terus menerus aku lakukan dengan beberapa gadis lainnya membuat Anna merasakan sakit hati yang amat dalam. Ia tahu, namun ia hanya diam, dan bersabar. Seperti thermometer yang dipanaskan, 2 tahun lalu adalah klimaks semua kekecewaannya.
Ia membaca semua chat mesra bbm ku dengan seorang gadis yang sangat asing baginya. Setelah ia meluapkan emosinya, ia memaksakan diri menerobos hujan lebat. Aku tak bisa menahanya. Aku membiarkannya pergi karena kupikir ia butuh waktu untuk menenangkan diri, setelah ia tenang baru aku akan berbicara baik-baik kepadannya, mengakui semuanya dan meminta maaf. Saat itu aku hanya membutuhkan maafnya, jika ia tetap tidak ingin meneruskan hubungan ini aku bisa menerimanya. Karena kala itu aku pikir aku bisa mendapatkan gadis lain yang lebih baik dan lebih cantik darinya. Nyatanya hipotesaku salah besar. Aku masih saja merindukannya.
Tidak sampai setengah jam Anna pergi, ia meneleponku.
“Hallo benar ini dengan mas Aldo?”
“i-i-iyaaa” aku kaget ketika bukan Anna yang bicara dibalik telepon.
“Mas Aldo, kami dari pihak RS.Mitra Keluarga Depok ingin memberitahukan bahwa teman anda, saudari Anna sedang kritis dan harus dilakukan tindakan dengan segera. Kami membutuhkan kehadiran Anda, karena beberapa kali kami tidak bisa menghubungi keluarganya….”
“baik! Saya segera kesana”
Tanpa pikir panjang lagi aku mengambil kunci motor dan segera melesat ke rumah sakit. Aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dengan Anna. Jantung ini rasanya berhenti berdetak ketika mendengar kabar itu. Aku memacu kuda besiku, menerobos hujan yang tak kunjung berhenti. Aku takut petir, namun aku lebih takut kehilangannya.
Aku sampai di rumah sakit. Anna masih di UGD, tubuhnya bersimbah darah. Kepalanya terus menerus mengeluarkan darah. Aku merasakan seluruh tubuhku melemah, aku tidak bisa membiarkannya seperti ini. Aku tidak ingin kehilangannya. Seorang suster menyodorkanku sebuah dokumen persetujuan tindakan operasi. Tanpa pikir panjang aku menandatanganinya.
Tak lama Anna langsung dibawa ke ruang operasi. Nafasku tidak teratur, kepalaku terasa sakit seperti dihantam bola beton. Aku duduk di depan ruang operasi. Aku masih bertanya-tanya apa yang menyebabkan Anna seperti itu? Bisakah Anna diselamatkan? Tuhan tolong aku.
“Kamu teman gadis tadi, nak?” tiba-tiba suara seorang lelaki mengagetkanku.
Aku hanya mengangguk pelan. Kepalaku terus menunduk, aku menyembunyikan mataku yang sudah sejak tadi dibasahi air mata.
“Tadi dia tertabrak mobil waktu mau nyebrang, nak. Mobilnya kabur gak mau tanggung jawab. Semoga bisa diselamatkan ya, nak. Saya pamit dulu.” Katanya
Sesak dada ini mendengar cerita itu. Anna, sorry. All caused by me. I’m foolish!!!!
Pria itu bergerak menjauhiku, berjalan memunggungiku.
“Terima kasih, Pak.” Kataku lirih
Ia menoleh dan tersenyum. Aku berusaha membalas senyumnya sebisa mungkin.
Tak lama keluarga Anna datang bersamaan dengan keluarnya dokter dari ruang operasi. Kami semua menanti kabar tentang kondisi Anna. Mama Anna tak henti-hentinya menangis.
“Anna kehabisan banyak darah, kami membutuhkan darah lagi karena stok darah AB sangat sedikit. Siapa diantara kalian yang golongan darahnya AB?” kata dokter.
Aku tidak pernah mendonorkan darah, dengan alasan takut dengan jarumnya yang sangat besar itu. Namun kali ini yang membutuhkan adalah orang yang sangat aku cintai. Setelah melewati pemeriksaan kesehatan aku mulai mendonorkan darahku. Besar harapanku saat itu Anna bisa tertolong.
Beberapa jam setelah aku mendonorkan darah, dokter kembali keluar ruangan dan memberitahukan bahwa Anna masih koma dan ia tidak bisa memprediksikan kapan Anna akan siuman.
Aku dan keluarganya sangat terpukul saat itu.
Tidak sampai satu minggu Anna di rumah sakit, keluarganya membawa Anna ke rumah sakit di Jerman untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik lagi. Saat itu aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhannya.
Setelah enam bulan perawatan Anna sembuh. Betapa senangnya ketika mamanya memberitahukan kabar itu. Ingin segera aku menyusulnya kesana, sebelum satu e-mail ini sampai:
Hai, apa kabar?
Aku sudah sembuh dan sehat kembali disini. Do, aku sudah memaafkan kamu. Semoga kamu bisa menjadi pria yang bertanggungjawab atas komitmen yang kamu bangun. Aku sudah bilang sama mama papa untuk tinggal disini saja. Rasanya terlalu sakit untuk pulang ke Indonesia. Aku sedang dekat dengan seorang dokter yang menanganiku disini. Terima kasih untuk pelajaran berharga ini. Aku harap kamu mengerti.
Belakangan aku mendengar dari teman-temannya bahwa ia telah menikah dengan dokter itu, dan juga terkadang aku masih sering mengikuti aktifitasnya lewat sosial media.
Anna tidak salah, itu jalan hidupnya. Dan jika aku dulu tidak begitu, mungkin jadinya tidak seperti ini. Sesal memang selalu datang di akhir. Namun, ada setitik rasa bahagia ketika mengingat bahwa didalam tubuhnya mengalir darahku juga.
Aku yang membuatnya celaka, tapi sedikitnya aku menyelamatkan nyawanya, walaupun luka hatinyanya tak bisa aku sembuhkan.

Mawar putih, itulah kamu, Anna. Polos, elegan, sederhana namun cantik, dan sangat besar hati.Aku benar-benar mengaguminya.
Aku menutup album usang itu. Bangkit berdiri, mengambil sebatang rokok lalu menyalakannya. Menghisapnya dalam-dalam, mengeluarkan asapnya pelan-pelan, seperti rasa sakit dan kerinduan ini, aku ingin melepaskannya perlahan-lahan bersama kepulan asap tembakau ini.
***


Aku Bukan Gitarmu

Tuesday, November 04, 2014

Tanganmu melingkar memeluk gitar cokelat tua itu
Jari-jari itu menyentuh senar-senar yang kian berkarat
Kau petik lihai satu demi satu dawai gitarmu
Nada-nada  mengalun indah dari kotak resonansi itu
Suara merdumu menyatu menjadi sebuah harmoni indah di telingaku
Kau tampak manis ketika itu
Sayang aku hanya bisa memandangimu dari kejauhan
Sejujurnya aku ingin ada disana, disampingmu
ditepi danau nan tenang, bermandikan cahaya mentari sore yang hangat
Namun aku takut, aku takut aku terjatuh lagi

Aku masih mengagumimu, senyummu, tawamu, dan semua tingkah lucumu
Aku masih merindukan hangatnya pelukmu, tatapan matamu, dan
aku....
aku masih mencintaimu seperti dulu
Aku masih sama seperti yang dulu
Namun aku bukanlah gitarmu
Aku bukan gitar yang bisa kau mainkan sesuka hati
lalu kau campakkan ketika kau sudah puas
Kau selalu datang dan pergi sesuka hatimu
Aku kesal kau begitu
aku ingin kau berubah
tapi apa daya, aku memang lemah
aku tak kuasa untuk menolakmu
aku selalu membukakan pintu saat kau datang
saat kau pergi, aku hanya bisa memandangimu dari jauh

Kau adalah nama yang selalu kusebut dalam doaku
Ku memohon pada-Nya agar kau selalu sehat dan bahagia
walau tak bersamaku
Selebihnya aku ingin kau sadar
akan kehadiranku disampingmu
Aku bukan gitarmu
Aku ingin menjadi orang yang selalu ada disampingmu
saat kau berlagu sedih maupun bahagia


Long Distance Relationship, Bukan Pemisah Aku dan Dirinya

Sunday, November 02, 2014

Seperti dalam dongeng, setiap gadis memiliki impian bertemu dengan seorang pangeran tampan atau ksatria tangguh dalam hidupnya. Diawali dengan pertemuan dramatis, diselingi konflik nan ironis, kemudian diakhiri akhir yang romantis. Sangat klasik. Namun aku pun pernah bermimpi seperti itu. Memiliki pasangan hidup setampan Ken atau dalam dunia nyata seperti Bradley Cooper, seseksi Adam Levine, atau sekeren Taylor Lutner. Bukan hal yang salah selagi mimpi itu dibarengi usaha dan selalu sadar akan realita yang ada.
Mencari yang sempurna, sempurna, dan sempurna. Habislah waktu kita. Nobody perfect, but let's look for someone out there who offer her/his simplicity to complete you. It's perfect life, guys.
Sekitar satu tahun lalu aku bertemu seorang pria (4 years older). Sebenarnya jauh sebelumnya kami sudah saling berkomunikasi lewat jejaring sosial, facebook. Kejadian itu terulang lagi, singkat cerita kami bertukar no HP, dan saling berkirim pesan. Awalnya biasa saja, sama seperti teman-teman lainnya. Ternyata kami punya satu kesamaan, yaitu sama-sama penggemar salah satu klub sepakbola raksasa Spanyol, Barcelona. Modus selanjutnya adalah ia mengirim jersey klub kesayanganku ke rumah dengan nama (-DIANA- if you remember) yang salah (untung aja bukan alamat palsu wkwkwk). Sebelumnya aku tidak pernah tau dia rupanya seperti apa, kesalnya dia tau aku. Hingga suatu hari seorang teman mengetahui kedekatan kami, dan menyuruhnya datang ke tempatku berada saat itu. 
Canggung. Itulah perasaan pertama ketika sosok pria seksi ini muncul dihadapanku (cieee disebut seksi :p). Kemudian kami pun terbawa dalam obrolan-obrolan ringan ditengah kedua temanku yang lainnya (ceritanya double date). Dia mengantarku pulang. Dan sejak saat itulah dia melancarkan manuver-manuvernya untuk menembus pertahananku. Bukan pertahanan, tapi kesia-siaan yang dipertahankan.
Setelah proses yang cukup panjang akhrinya, 2 Novermber 2013 kami meresmikan hubungan kami.
Satu bulan pertama, percakapan mesra nan manja mengawali minggu-minggu pertama kami pacaran. 
Bulan kedua, untuk pertama kalinya aku diperkenalkan pada keluarga besarnya. dan itu gugupnya bukan main. Ada rasa takut tidak disukai, atau parahnya tidak direstui, tapi syukurlah kami bisa sampai sekarang karena restu keluarga pula.
Saat aku ulang tahun tanpa diduga-duga ia datang tengah malam kerumahku bersama teman-teman kami. Ketika aku baru saja ingin tidur, tiba-tiba mereka muncul dari dapur sambil menyanyikan lagu ulang tahun. Senengnya pake banget apalagi dekorasi kuenya Barcelona. (so sweet and once again thank you for you all)
Akhir tahun 2013, kami habiskan semalam suntuk dirumahku. Menikmati detik-detik pergantian tahun bersama keluargaku. Itu pertama kalinya aku membawa pria ke rumah saat malam tahun baru. 
Bulan ketiga, mulai ada pertengkaran-pertengkaran kecil. Ia pindah ke Bandung untuk mencari pekerjaan. Hal itu menjadi awal kami menjadi pejuang jarak dan waktu. Tapi dua minggu sekali dia masih pulang ke Kuningan. 
Bulan keempat, aku pergi ke Bandung. Tujuannya 2 in 1. Ada acara dengan komunitasku dan sekaligus bertemu dengannya. Rasanya lega ketika bertemu lagi dengan dia. Senangnya bukan main, ketika melihat sosoknya ada disampingku.
Bulan kelima, aku mulai sibuk mempersiapkan ujian nasional. Dia sangat pengertian, walau kadang terselip pertengkaran karena hal-hal kecil tapi itulah penyedapnya.
Bulan keenam, ulang tahunnya bertepatan dengan peringatan hari jadi kami. Awalnya aku mau mengirimkan kue kering buatanku ke Bandung, tapi secara mendadak ia pulang ke Kuningan. Hampir ketahuan tapi untungnya masih berhasil. Surprise party sederhana, sekaligus membangunkan kebo bangun dari tidurnya hahaha. 
Bulan ketujuh, ia kembali ke Bandung.Aku lulus, Ia mulai bekerja, waktu kami untuk berkomunikasi semakin terkikis. Tapi SMS dan telepon masih jadi andalan.
Bulan kedelapan, satu bulan kami tidak bertemu namun akhirnya bertemu dengan hitungan 8 jam saja. Saat-saat terakhir aku menangis dipelukannya. Saat itu aku merasa tidak ingin pergi lagi. Ingin rasanya tinggal terus disampingnya. Namun, itu tidak memungkinkan. Aku kuliah di tempat yang jauh dengannya. Resiko long distance relationship yang sebenarnya pun harus kami terima dengan ikhlas. 
Bulan-bulan seterusnya hingga bulan yang keduabelas hanya tersisa SMS dan telepon. 
Perbedaan-perbedaan prinsip mulai muncul, namun kembali pada bagaimana kami membangun cerita hidup ini. Banyak orang meremehkan LDR, seolah tak punya harapan. Bau-bau perselingkuhan memang selalu mendekati mereka yang menjalin hubungan jarak jauh. Banyak kesempatan, tapi ingatlah bagaimana susahnya kita membangun dan mempertahankan hubungan yang sudah ada. 
Aku dan dia tidak sama. Sedikit banyak perbedaan itu menjadi akar munculnya pertengkaran.
Dia bukan orang tertampan, terpintar, teromantis, terkaya, dan ter ter selanjutnya. Tapi dia adalah orang yang hebat yang bisa meluluhkan hatiku. Orang yang bisa membuat aku bangkit. Orang yang membuatkanku cermin untuk selalu aku berkaca pada diri sendiri. Orang yang bisa meyakinkan hatiku. Dia tidak selalu mengerti aku, karena dia tau saat dimana aku harus mengerti dirinya.
Aku memulainya dengan rasa nyaman, bukan dengan jatuh cinta. Karena jatuh cinta tidak menjamin aku dapat merasakan kenyamanan ini.
Aku meneruskan ini bukan karena keinginan, tapi karena aku membutuhkannya dan karena aku telah berani memulainya.
Jarak dan waktu bukanlah penghalang ketika kita berani memulai. Komunikasi, kepercayaan, dan saling mengerti adalah kuncinya. Tapi yang utama dari semuanya adalah sejauh mana niat kita untuk mempertahankan apa yang telah kita mulai. Karena mengakhiri itu jauh lebih mudah daripada kita memulai sesuatu yang baru.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS