Pages

PENDIDIKAN MEMBANGUN BANGSA, MEMAJUKAN NEGARA (repost from my facebook's note)

Saturday, July 26, 2014

lagi dan lagi menemukan fenomena seperti ini.
Rabu, 23 Juli 2014 kemarin saya pergi ke Depok untuk mencai kosan. Singkat cerita, saya akan pulang lagi ke rumah tante di Gunung Putri, Bogor, dengan menumpang angkot dari Margonda kami pun sampai di terminal Kampung Rambutan. Kemudian kami naik angkot D 121 A yang baru ada 2 orang penumpang didalamnya. Setelah sekitar 10 menit di dalam angkot yang masih "ngetem" tiba-tiba ada seorang anak kecil (perempuan) usianya sektar 7 tahun masuk kedalam angkot. Saya yang duduk di pojok tidak terlalu mennghiraukan kehadirannya, namun ketika dia menyodorkan selembar kertas yang bertuliskan "Selamat Lebaran 1435 H" saya terkejut. Setelah diamati ternyata itu adalah amplop kecil yang didesain sedemikian ruma supaya terlihat lebih menarik (tempat angpao). Semua orang di dalam angkot itu merogoh saku dan dompetnya dan menyisipkan uang kedalamnya. Tak ada kata yang terucap dari bibir mungilnya. kami para penumpang angkot memberikan lagi amplop-amplop itu. Penumpang yang lain saling bersautan "kasihan ya, bu?", "wah, padahal masih kecil" , saya hanya diam sambil mengamati anak malang itu. Anak itupun turun dari angkot, saya membuka jendela dan berteriak "de, kamu sekolah gak?" , dia tidak bersuara. Namun, gelengan kepalanya mengisyratkan bahwa dia tidak sekolah. Jawaban itu memang sudah tidak asing lagi, terlalu banyak anak seperti adik kecil tadi. 
Tak lama angkot pun berangkat membawa kami ke tujuan masing-masing. Setelah melewati Cibubur, kami masuk daerah Ciangsana. Jalannya sedikit rusak hingga angkot berjalan lambat. Kemudian angkot berhenti, seorang penumpang naik. Bukan seorang Bapak, atau pun Ibu, atau pun remaja, melainkan seorang anak laki-laki yang saya perkirakan umurnya sama seperti anak kecil di terminal tadi. Anak ini berpakaian lusuh, badannya terlihat kotor, ia membawa sebuah karuung kotorr yang cukup besar dan entah apa isinya. 
Tante saya bertanya dimana rumahnya, ia bilang di Vila 3. Tempat itu adalah perumahan yang setahu saya tidak ada rumah yang jelek, mungkin anak ini hanya pencitraan agar dikasihani. karena hal demikian sering terjadi. Ternyata tidak, setelah ia turun (tanpa membayar ongkos karena sopir angkotnya pun merasa kasihan) si sopir angkot tiba-tiba angkat bicara "itu kasihan bu kalau malam tidurnya di pos satpam di vila, ibunya sudah meninggal". ternyata sopir ini memang sering ditumpangi anak tersebut, ia tak keberatan, bahkan ia bercerita sesekali ia memberi anak itu sedikit uang. Betapa malangnya hidup anak itu, seharusnya dia masih ada dalam keluarga hangat yang menyanyanginya, masih bermain seperti anak lainnya, dan masih sekolah. seharusnya. 
Saya berdecak kagum pada anak itu, ia tidak mengemis, ia bekerja semampunya untuk tetap hidup. Saya amat bersyukur karena Tuhan memberikan saya keluarga yang utuh, perhatian dan penuh cinta. Lepas dari hal itu apa yang saya saksikan memang amat memilukan. tidak sedikit anak kecil terpaksa
 bekerja seperti itu, poin pentingnya adalah mereka tidak sekolah. bagaimana bisa suatu bangsa maju apabila benih-benih penerusnya terpaksa dipanen lebih dini? kapan padi itu akan menguning bernas dan menghasilkan beras unggul? ini adalah pekerjaan rumah pemerintah dan kita semua bangsa Indonesia. Pendidikan adalah salah satu pondasi suatu bangsa. 

#SelamatkanAnakBangsa

Veronika Dina

Kisah Inspiratif Seorang Wanita Pengemudi Taxi

Monday, July 07, 2014

*tuuuut...tuuuuut..* suara klakson taxi di depan rumah berbunyi kembali.
Hari itu, 5 Juli 2014 saya berserta sepupu (Anna), keponakan (Dara), dan kedua tante saya (Tante Umi dan Tante Nani) akan pergi ke Jakarta Fair Kemayoran. (well, disini saya bukan mau mencritkan tentang JFK)
"sebentar Pak!" ujar tante Nani.
Kami memang sengaja memanggil taxi ke rumah yang bertempat di perumahan Bumi Mutiara, Gunung Putri, Bogor dikarenakan tidak ada kendaraan pribadi yang cukup untuk membawa kami semua menuju Jakarta.
Singkat cerita kami semua masuk kedalam taxi. Saya duduk di kursi depan, langsung memakai seat belt, namun ketika saya tengah memakai sabuk pengaman tersebut alangkah terkejutnya saya melihat si supir ternyata bukanlah seorang pria melainkan seorang wanita sekitar 50th-an yang berwajah oriental. Seoranng wanita menekuni pekerjaan sebagai supir angkutan umum memang sudah sering kita temui di kota-kota besar.
Setelah bertanya jawab dengan kedua tante saya, ternyata beliau adalah seorang pensiunan perusahaan asing (Jepang) yang dulunya bekerja di bagian finance. Ibu Nana Tan Wijaya ini asli Cirebon, Jawa Barat. Namun semasa remaja ia hidup di Jakarta, dan kuliah di Universitas Padjajaran. Selepas kuliah ia berkeliling dunia bersama pacar yang sekarang menjadi suaminya tersebut, hal ini disebabkan suaminya bekerja di Petronas dan sering ditugaskan ke luar negeri. Sekarang suami Bu Nana tinggal di Malaysia, mereka sudah memiliki dua orang anak. Anak pertamanya perempuan, baru saja lulus Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, dan anak bungsunya masih berkuliah di Univesitas Padjajaran Jurusan Akuntansi . 
Dengan cerita beliau seperti itu, ada pertanyaan yanng terlintas dibenak saya. 
"Ibu, maaf kalau boleh tau apa alasan ibu jadi supir taxi?"
Beliau tersenyum. 
"saya menyukai mesin dan otomotif, jadi dari dulu saya tidak pernah bisa mengerjakan perkerjaan rumah tangga." jawabnya singkat.
Saya terdiam, enggan untuk bertanya lagi. 
"Hidup bukan untuk mencari materi saja, saya punya pensiunan 1,3 M karena saya mengabdi selama 30 tahun di perusahaan itu. Coba anak sekarang kalau kerja paing 2-5 tahun sudah bosan. Ya kalau jadi orang jangan cepat puas dengan apa yang kita dapat. Saya biasa bekerja keras tiap hari. Saya takut saya jadi pikun, makanya saya mencari pekerjaan yang sesuai hobi saya."
saya terkejut mendengar perkataan beliau. Dibalik tubuhnya yang mungil ternyata Ibu ini seorang wanita mandiri, pekerja keras, dan tegas memilih jalan hidupnya.
Ia tidak merasa malu menjadi supir taxi walaupun  ia seorang sarjana, dan pernah bekerja di perusahaan asing. Beliau benar-benar memanfaatkan talentanya, bukan menguburnya bersama usia yang terus menua. karena bagi Ibu Nana selagi masih sanggup bekerja, usia bukan halangan unutuk berkarya.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS