Pages

Selamat Jalan Ayah

Tuesday, February 17, 2015

Pilu. Itulah yang aku rasakan ketika dua minggu lalu (3 Februari 2015 pukul 01:53 WIB) aku mendapatkan sebuah sms dari keponakanku, “Bi, Kakek meninggal”. Seketika jantungku terasa berhenti beberapa detik, aku mematikan computer, melangkah gotai menuruni tangga, membangunkan tanteku. air mataku tumpah seketika dipelukan tanteku.
Malam itu aku terpaksa menginap di rumah seorang paman karena  ada sebuah tugas penting yang harus dikerjakan dan membutuhkan koneksi internet. Aku baru tiba di Kuningan sekitar pukul 8 pagi (2 Februari 2015). Ibuku menyambut kedatanganku, aku tau dibalik senyumnya tersimpan kesedihan yang ia tahan selama ini. Aku memasuki kamarku, disana terbaring tubuh yang begitu lemah, terbaring sakit, dengan nafas yang tersengal-sengal. Aku menyalami tbuh yang tinggal tersisa tulang dan kulit itu, menahan air mataku sebisa mungkin. Matanya sedikit melirik kearahku, lalu ia bersuara “cageur, neng?” (dalam bahasa Indonesia : “sehat, nak?”), aku menangguk pelan sembari tersenyum sebisanya.
Aku keluar dari kamar. Ibuku bercerita semua tantang keadaan ayahku. Sejak divonis kanker paru-paru 2 bulan lalu, aku bersiap untuk situasi terburuk sekalipun. Ternyata kondisi ayahku saat itu semakin menurun, tidak mau makan, minum, dan hanya tidur namun dengan mata terbuka. Seharian itu tak ada makanan ataupun obat yang masuk. Kakakku berusaha membujuknya untuk makan bubur, sedikit demi sedikit dengan bantuan air bubur encer itu ia makan. Giliranku memberinya minum, untuk terakir kalinya dalam hidupnya. Aku menatap wajahnya, tulang pipi yang menonjol, serta mata yang entah menerawang jauh kemana, saat itulah aku merasakan sesuatu yang ganjil dalam hatiku. Aku merasa jiwanya telah hilang.
Ibuku dengan sabar memberikan 4 butir obat, namun ayah tetap menolak. Dicoba hanya 2 butir pun tetap saja tak mau ia telan walaupun sudah banyak dibantu air. Aku tak kuasa melihatnya, akhirnya aku keluar kamar. Mengambil laptop dan mengerjakan tugas. Sesekali aku memasuki kamar sekedar untuk melihatnya, tak sampai 5 menit aku keluar lagi. Tidak tega, dan aku tak ingin ada air mata diadapannya meskipun ketika mandi air mata itu mengalir bersama guyuran air diwajahku.
Ketika aku hendak pergi ke rumah pamanku, beberapa anggota keluarga besarku datang menjenguk ayah. Aku mengerjakan tugas dengan pikiran yang entah kemana. Otakku membuat sejumlah kemungkinan. Aku memejamkan mata sejenak, membayangkan momen-momen ketika aku bersamanya.
Saat aku berumur 4 tahun, aku merengek minta sekolah, ia kemudian membelikanku sebuah tas kecil yang sekarang masih aku simpan di gudang. Ketika aku mendapat ranking ia selalu bertanya hadiah apa yang aku mau. Dan sekarang aku menulis menggunakan salah satu hadiah darinya. Dia tidak pernah memanjakan aku, selalu mendidikku untuk berusaha mencapai sesuatu kemudian aku akan diberi reward.
Suatu ketika aku sedang tertidur, lalu aku terbangun mendengar suara ia datang. Aku berpura-pura tidur lagi. Ia memanggilku, aku diam saja. Ia memasuki kamarku, dan menggoyang-goyangkan wajahku, “Itu HP baru, hey bangun..bangun”. Ia selalu mengerti apa yang aku butuhkan.
Aku sangat suka buah-buahan, apalagi jeruk. Ketika sedang jalan-jalan dengannya, ia selalu menawariku untuk membeli jeruk. Ketika sepedaku rusak, ia selalu membetulkannya.
Separuh hidupnya dihabiskan untuk mengurus pemancingan. Hingga tidur disana dan jarang pulang. Walaupun dulu ia pernah bekerja di Jakarta, setelah pulang ke Kuningan, pemancingan selalu menjadi tempat favoritnya. Tak jarang aku mengetuk pintu saung di pemancingan hanya sekedar untuk meminta uang jajan sebelum berangkat sekolah.
Aku dan ayah memang tak sedekat aku dan ibuku. Momen bersamanya tak begitu banyak. Sejak ia sakit doaku kepada Tuhan adalah agar ayahku tetap sehat sehingga ia bisa ada ketika 2 momen terpentingku kelak. Disaat aku wisuda dan disaat aku menikah. Sayang, Tuhan memberikan jalan cerita yang berbeda dengan harapanku.
Aku tak sempat memberikan apa-apa padanya. Hanya nilai raport dan sertifikat lomba dari SD hingga SMA yang sempat aku tunjukkan padanya, walaupun terkadang menuai protes darinya ketika ada nilai kepala 7. Terkadang kesal dengan hal itu, tapi untungnya ia adalah ayah yang demokratis. Tidak pernah menuntut aku dalam hal apapun, hanya rambu kuning ketika aku sedikit menyimpang. Tak pernah memarahi dengan ucapan kasar ataupun perlakuan kasar secara fisik. Dia adalah laki-laki pertama yang aku sayangi.
Kepergian ayah bukan hanya kesedihanku, tapi seluruh keluarga besarku dan orang-orang yang pernah mengenalnya. Mungkin dulu ia tak selalu ada dimana aku berada, sekarang dimanapun aku berada ia bisa berada disampingku meski aku tak dapat melihat dan menyentuhnya. Apa yang ia ajarkan akan selalu aku ingat.
Good bye, Dad. I wish God will forgive all of your sins, and placed you in the right place, beside Him.
I’m still your lil’ girl. I promise I’ll do all my best efforts to make you proud of me. I love you so much.

I miss you…

#saveKPK

Saturday, February 07, 2015

http://news.detik.com/read/2015/02/06/144743/2825861/10/semoga-jokowi-tak-jadi-presiden-terburuk-dalam-pemberantasan-korupsi
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS