Udara
dingin mengusap lembut tubuhku yang tengah terbaring di sofa ruang keluarga.
Aku sedikit terusik kemudian meringkuk memeluk lututku, berusaha menghangatkan
diri. Namun, suara gemericik hujan bersautan dengan suara petir sedikit banyak
mengganggu hibernasiku. Memuaskan diri dengan tidur seharian setelah satu
minggu begadang demi tugas-tugas yang rasanya tidak pernah berkurang, atau
malah terasa semakin bertambah.
Aku
mengulet, melihat jam dinding. Jam 3 sore. 12 jam aku tertidur, pantas saja aku
merasa sangat lapar hingga perutku terasa perih. Aku bangun, duduk menghadap
kearah jendela. Aku menguap sambil melihat tetesan air yang turun dari si hitam
cumulonimbus di atas langit sana.
Melihat ke sekeliling halaman depan rumah. Berjejer bunga mawar tersiram air
hujan. Aku pandangi satu per satu mawar itu, walaupun sebelumnya aku tidak
pernah memperhatikan halaman depan rumah yang dirawat sangat apik oleh ibuku.
Tiba-tiba
ada satu pemandangan yang tertangkap kedua mataku, dan langsung masuk kedalam
otakku, lalu seketika terjun bebas kedalam hatiku. Mawar putih. Satu-satunya
diantara deretan mawar merah dan pink, tertanam begitu indah dengan kelopak
putih jernihnya. Aku bukan pujangga yang bisa menuliskan kata-kata romantis, tapi
mungkin itulah Anna. Ditengah deretan mantan-mantanku, dialah yang paling
berbeda. Hatiku mulai bereaksi, memori otakku kembali membuka album usang
tempat aku menyimpan segala kenanganku dengannya.
Senyumnya,
tawanya, tingkah lucunya, marahnya, delik matanya aku masih sangat megingatnya.
Bahkan wangi khas tubuhnya pun masih lekat dalam ingatanku. Aku ingat bagaimana
ia begitu marah ketika aku selingkuh. Saat itu aku baru menyadari betapa
bodohnya diriku. Mungkin tangisannya adalah klimaks sakit hatinya. Ia tidak
banyak bicara, diam membungkam lalu pergi. Ingin aku kembali pada saat-saat
itu, mencoba meredam tangisnya dan mencegahnya pergi. Namun, rasanya tidak
pantas lagi aku menghampirinya. Walau kini ia sudah memaafkanku, aku tahu di
dalam hatinya luka itu masih menganga.
Aku
rindu.
Jika
aku seperti Nobita yang memiliki Doraemon, mungkin saja aku bisa memintanya
mengeluarkan mesin waktunya. Kembali ke 2 tahun lalu. Aku ingin memperbaikinya,
atau malah 3 tahun lalu memulai semuanya dari awal seperti serial Proposal Daisakusen. Jika aku diberi
kesempatan itu aku akan menyayangi Anna sepenuh hati dan tidak akan membuat air
matanya menetes setitikpun. Bahkan aku rela menjadi badut yang senantiasa
mengukirkan senyum di wajah putihnya. Memulai dengan indah, terus berputar
seperti bumi yang tak berujung.
Salahkah?
Terlambat.
Hanya itu alasnnya. Aku terlambat untuk memperbaiki semuanya,
Tiba-tiba
dadaku terasa nyeri, sesak, pelupuk mataku terasa panas. Mataku berkaca-kaca.
Terlalu sakit untuk mengingat peristiwa ini. Kanker pun rasanya tidak ada
apa-apanya jika dibandingkan harus kehilangan orang yang paing disayangi. Dan
kepergiannya adalah karena ulahku.
Sore
itu ketika kami bertengkar hebat, diluar sedang hujan deras. Petir
menyambar-nyambar mengiringi pertengkaran kami. Wajahnya memerah, sorot matanya
begitu tajam diiringi derai air mata yang terus keluar dari mata cokelatnya.
Aku menunduk, sesekali aku mencoba berargumen, namun aku memang salah. Aku
mengaku salah. Aku memang bodoh. 1 tahun kebersamaanku dengannya sering kali
diwarnai permainanku. Perselingkuhan yang terus menerus aku lakukan dengan
beberapa gadis lainnya membuat Anna merasakan sakit hati yang amat dalam. Ia
tahu, namun ia hanya diam, dan bersabar. Seperti thermometer yang dipanaskan, 2
tahun lalu adalah klimaks semua kekecewaannya.
Ia
membaca semua chat mesra bbm ku
dengan seorang gadis yang sangat asing baginya. Setelah ia meluapkan emosinya,
ia memaksakan diri menerobos hujan lebat. Aku tak bisa menahanya. Aku
membiarkannya pergi karena kupikir ia butuh waktu untuk menenangkan diri,
setelah ia tenang baru aku akan berbicara baik-baik kepadannya, mengakui
semuanya dan meminta maaf. Saat itu aku hanya membutuhkan maafnya, jika ia
tetap tidak ingin meneruskan hubungan ini aku bisa menerimanya. Karena kala itu
aku pikir aku bisa mendapatkan gadis lain yang lebih baik dan lebih cantik
darinya. Nyatanya hipotesaku salah besar. Aku masih saja merindukannya.
Tidak
sampai setengah jam Anna pergi, ia meneleponku.
“Hallo
benar ini dengan mas Aldo?”
“i-i-iyaaa”
aku kaget ketika bukan Anna yang bicara dibalik telepon.
“Mas
Aldo, kami dari pihak RS.Mitra Keluarga Depok ingin memberitahukan bahwa teman
anda, saudari Anna sedang kritis dan harus dilakukan tindakan dengan segera.
Kami membutuhkan kehadiran Anda, karena beberapa kali kami tidak bisa menghubungi
keluarganya….”
“baik!
Saya segera kesana”
Tanpa
pikir panjang lagi aku mengambil kunci motor dan segera melesat ke rumah sakit.
Aku sama sekali tidak tahu apa yang terjadi dengan Anna. Jantung ini rasanya
berhenti berdetak ketika mendengar kabar itu. Aku memacu kuda besiku, menerobos
hujan yang tak kunjung berhenti. Aku takut petir, namun aku lebih takut
kehilangannya.
Aku
sampai di rumah sakit. Anna masih di UGD, tubuhnya bersimbah darah. Kepalanya terus
menerus mengeluarkan darah. Aku merasakan seluruh tubuhku melemah, aku tidak
bisa membiarkannya seperti ini. Aku tidak ingin kehilangannya. Seorang suster
menyodorkanku sebuah dokumen persetujuan tindakan operasi. Tanpa pikir panjang
aku menandatanganinya.
Tak
lama Anna langsung dibawa ke ruang operasi. Nafasku tidak teratur, kepalaku
terasa sakit seperti dihantam bola beton. Aku duduk di depan ruang operasi. Aku
masih bertanya-tanya apa yang menyebabkan Anna seperti itu? Bisakah Anna
diselamatkan? Tuhan tolong aku.
“Kamu
teman gadis tadi, nak?” tiba-tiba suara seorang lelaki mengagetkanku.
Aku
hanya mengangguk pelan. Kepalaku terus menunduk, aku menyembunyikan mataku yang
sudah sejak tadi dibasahi air mata.
“Tadi
dia tertabrak mobil waktu mau nyebrang, nak. Mobilnya kabur gak mau tanggung
jawab. Semoga bisa diselamatkan ya, nak. Saya pamit dulu.” Katanya
Sesak
dada ini mendengar cerita itu. Anna,
sorry. All caused by me. I’m foolish!!!!
Pria
itu bergerak menjauhiku, berjalan memunggungiku.
“Terima
kasih, Pak.” Kataku lirih
Ia
menoleh dan tersenyum. Aku berusaha membalas senyumnya sebisa mungkin.
Tak
lama keluarga Anna datang bersamaan dengan keluarnya dokter dari ruang operasi.
Kami semua menanti kabar tentang kondisi Anna. Mama Anna tak henti-hentinya menangis.
“Anna
kehabisan banyak darah, kami membutuhkan darah lagi karena stok darah AB sangat
sedikit. Siapa diantara kalian yang golongan darahnya AB?” kata dokter.
Aku
tidak pernah mendonorkan darah, dengan alasan takut dengan jarumnya yang sangat
besar itu. Namun kali ini yang membutuhkan adalah orang yang sangat aku cintai.
Setelah melewati pemeriksaan kesehatan aku mulai mendonorkan darahku. Besar
harapanku saat itu Anna bisa tertolong.
Beberapa
jam setelah aku mendonorkan darah, dokter kembali keluar ruangan dan
memberitahukan bahwa Anna masih koma dan ia tidak bisa memprediksikan kapan
Anna akan siuman.
Aku
dan keluarganya sangat terpukul saat itu.
Tidak
sampai satu minggu Anna di rumah sakit, keluarganya membawa Anna ke rumah sakit
di Jerman untuk mendapatkan perawatan yang lebih baik lagi. Saat itu aku tidak
bisa melakukan apa-apa lagi. Aku hanya bisa berdoa untuk kesembuhannya.
Setelah
enam bulan perawatan Anna sembuh. Betapa senangnya ketika mamanya
memberitahukan kabar itu. Ingin segera aku menyusulnya kesana, sebelum satu
e-mail ini sampai:
From
: skolastik.anna@gmail.com
Hai,
apa kabar?
Aku
sudah sembuh dan sehat kembali disini. Do, aku sudah memaafkan kamu. Semoga
kamu bisa menjadi pria yang bertanggungjawab atas komitmen yang kamu bangun.
Aku sudah bilang sama mama papa untuk tinggal disini saja. Rasanya terlalu
sakit untuk pulang ke Indonesia. Aku sedang dekat dengan seorang dokter yang
menanganiku disini. Terima kasih untuk pelajaran berharga ini. Aku harap kamu
mengerti.
Belakangan
aku mendengar dari teman-temannya bahwa ia telah menikah dengan dokter itu, dan
juga terkadang aku masih sering mengikuti aktifitasnya lewat sosial media.
Anna
tidak salah, itu jalan hidupnya. Dan jika aku dulu tidak begitu, mungkin
jadinya tidak seperti ini. Sesal memang selalu datang di akhir. Namun, ada
setitik rasa bahagia ketika mengingat bahwa didalam tubuhnya mengalir darahku
juga.
Aku
yang membuatnya celaka, tapi sedikitnya aku menyelamatkan nyawanya, walaupun
luka hatinyanya tak bisa aku sembuhkan.
Mawar
putih, itulah kamu, Anna. Polos, elegan, sederhana namun cantik, dan sangat
besar hati.Aku benar-benar mengaguminya.
Aku
menutup album usang itu. Bangkit berdiri, mengambil sebatang rokok lalu menyalakannya.
Menghisapnya dalam-dalam, mengeluarkan asapnya pelan-pelan, seperti rasa sakit
dan kerinduan ini, aku ingin melepaskannya perlahan-lahan bersama kepulan asap
tembakau ini.
***